Minggu, 21 November 2010

teori tata krama

Tata Krama dan Gaya Berbicara

Tata krama mungkin berhubungan dengan cara2 berbudaya orang Tiongkok di zaman dulu, sebagaimana diketahui dalam masyarakat feodal, kebudayaan Tionghoa itu dapat dibagi atas kebudayaan tinggi dan rendah yang digunakan berbeda melihat golongan2 masyarakat yang ada di dalam susunan feodalisme Tiongkok di zaman lalu. Golongan2 kasta ini terbagi secara jelas mulai dari zaman Dinasti Jin yang disebut dengan Masyarakat Men Di dan setelah Dinasti Tang berubah menjadi Masyarakat Ke Di sampai penghujung Dinasti Qing.

Jadi, gaya berbudaya mereka yang seperti anda lihat di serial Samkok maupun serial2 lainnya adalah budaya dan protokoler orang terpelajar ataupun bangsawan yang lebih tinggi dan lain dibandingkan dengan rakyat biasa ataupun budak (pelayan). Tentu saja ini bukan berarti rakyat biasa dan pelayan tidak ber-tatakrama di antara mereka, cuma protokolernya tidak serumit budaya tinggi tadi.

Mengenai gaya berbicara adalah erat kaitannya dengan perkembangan bahasa yang digunakan sehari2 pada masa tersebut. Di zaman lalu, bahasa Han klasik belum berkembang sempurna seperti sekarang ini, ini ditandai dari kosa kata dan karakter yang digunakan masih dalam bentuk mono-syllable di mana 1 kata dapat mengandung arti beberapa kata dalam bahasa sekarang ini, seperti kata2 bijak Konfusius yang singkat2 saja namun padat berisikan makna2. Bahasa klasik ini dinamakan Wen Yan Wen (bahasa klasik) atau Ya Yan (bahasa halus). Perkembangan bahasa Han dari zaman kuno sampai sekarang telah pernah saya tuliskan di artikel Bahasa Tionghoa beberapa bulan lalu.

Dalam sejarahnya, bahasa percakapan dan bahasa literatur (tulisan) menjadi terpisah perkembangannya. Sebelum Gerakan 4 Mei 1919, bahasa literatur adalah tetap menurut bahasa klasik dari zaman dulu, namun bahasa percakapan telah berkembang menjadi bahasa yang kita kenal sekarang. Bahasa percakapan sehari2 ini disebut Bai Hua Wen (bahasa umum sehari2). Setelah gerakan itu, barulah terjadi transformasi bahasa tulisan menjadi yang kita kenal sekarang. Namun bahasa klasik tidaklah punah, karena gerakan itu malah menjadikan bahasa klasik menjadi kekayaan sastra dan sejarah yang bernilai untuk didalami.

Bahasa klasik memang indah dan bernilai dalam bidang kesusastraan, sejarah dan budaya, namun tidak mungkin terus digunakan untuk percakapan sehari2 tanpa mengalami transformasi mengikuti tuntutan zaman. Sampai sekarang, masih banyak dan masih akan bertambah banyak lagi kosa kata yang akan ditambahkan ke dalam bahasa Han sesuai perkembangan zaman, seperti Dian Nau (komputer), Tai Kong Suo (pesawat ruang angkasa) dan masih banyak lagi yang tidak ada dan belum ada dalam kamus Kang Xi tahun 1710. Gaya berbicara juga tidak akan sama dari masa ke masa karena bahasa Han merupakan bahasa yang hidup dan penuh dinamika. 

PAGI itu, menyadari memiliki tugas tambahannya sebagai guru piket, seorang guru bergegas memasuki ruang kelas. Tujuannya sangat mulia: menyampaikan tugas yang dititipkan seorang guru yang berhalangan masuk kepada para siswa yang menjadi ampuannya.
Langkah semacam ini cukup strategis untuk menyelamatkan anak-didik agar tetap melakukan pembelajaran secara mandiri, sekaligus ”membungkam” kalau mungkin terjadi kegaduhan yang praktis mengganggu kelas lain.
Celakanya, bukannya respons sekadar ikut prihatin yang semestinya ditunjukkan para siswa, namun malah sorak kemenangan hanya karena Bu Guru pagi itu tidak jadi memberikan ulangan seperti yang dijanjikan. Sungguh, para siswa seperti tidak pernah terlatih memberikan empati secara imajinatif, semisal: pagi itu Bu Guru berhalangan hadir karena harus mendekap anaknya antre menunggu obat di puskesmas. Kalau kita mau merenung sejenak: apakah ini bukan gambaran serpihan paradoksal yang luput dari perhatian serius kita?
Menjadi rasional ketika orang tua seorang guru meninggal, guru yang lain tidak tega menyampaikannya di hadapan murid. Takut mendapat respons getir, menyakitkan. Kondisi semacam ini sangat menuntut teknik komunikasi tinggi agar harga diri guru tidak jatuh menggelepar di hadapan anak-didik. Di wilayah inilah kita bisa mengambil hikmah, bagaimana seorang guru senantiasa dituntut kampiun menyampaikan pesan-pesan moral agar anak-didik lebih bisa memberikan apresiasi yang semestinya.
Namun, realitas yang terjadi masih jauh dari harapan. Rasa empati siswa mustahil ditumbuhkan kalau perilaku para pendidik kurang menunjukkan keteladanan yang berarti. Guru yang sering terlambat masuk kelas, mudah meledakkan emosi, kurang pintar menerangkan, menyampaikan materi terlalu text-book, berwawasan sempit, suka meneror, gagal menjaga wibawa, serta sederet kelemahan lain, akan menyulut terjadinya degradasi tata krama.
Degradasi tata krama tidak hanya mudah kita temukan di lembaga pendidikan kita. Beberapa teman yang bekerja di industri mapan pernah mengeluhkan kesan serupa. Secara bergurau, seorang teman yang saban hari selalu berdasi mengeluh: sebelum kantornya kemasukan para siswa PKL, bau kamar kecilnya terjaga. Tetapi baru dua hari ada siswa magang di sana, berembus bau macam-macam. Tentu bukan rasa stroberi.
Ketika ada siswa magang yang bernasib sial menabrak pagar pada waktu mengendarai mobil, bukannya improvisasi rasa maaf yang muncul, tapi malah sikap ngotot ingin segera mengganti beban kerugian. Pernyataan-pernyataan yang secara tersirat maupun tersurat mengklaim pentingnya mempertahankan tata krama sebagai syarat kepemilikan adanya SDM yang unggul dan komparatif, semestinya tidak tersekap dalam wacana. Guru sebagai pendidik dan siswa sebagai subjek didik harus menyadari peran maksimalnya masing-masing.
Dalam bahasa sederhana: jika para guru mampu memberikan yang terbaik kepada para anak-didiknya, niscaya para siswa akan tahu diri sebatas apa memberikan imbalan apresiasi. Sebaliknya jika tidak memahami secara holistik terhadap perannya, akan bergegas berkaca: yang kami kerjakan belum apa-apa.


Sumber: Tata Krama Siswa » Agupena Jawa Tengah http://agupenajateng.net/2010/02/11/tata-krama-siswa/#ixzz3oohw3t4F
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Share Alike
 
 
Selama ini kita suka mencela orang barat yang katanya tak kenal unggah ungguh. Tak perlu terlalu jauh deh, yang deket-deket aja, orang Jogja sering menertawakan orang dari kultur Banyumasan hanya karena bahasa yang katanya ngapak dan tidak sopan. Alasan tidak sopan orang ngapak dan orang barat tuduhannya hampir mirip. Tidak ada perbedaan kasta dalam berbahasa. Kepada orang tua atau anak muda tetap menyebut you, kalo orang ngapak nyebutnya rika.
Makanya aku sempat kagum ketika melihat tata bahasa orang di daerah yang kulturnya terpengaruh feodalisme kraton. Dimana anak ke orang tua atau bawahan ke atasan begitu halus dan kadang pake acara nunduk-nunduk, biarpun sebaliknya tidak. Namun ketika aku melihat kenyataan sehari-hari, budaya tata krama itu sepertinya terkungkung di lingkungan kraton. Keluar dari situ, tetap saja budaya acak adut yang kita temukan.

Apa mungkin yang dinamakan tata krama cuma sebatas kita mengucap "nderek langkung" ketika lewat di depan orang lain. Tapi ketika harus antri di terminal atau ATM kita suka berdesak-desakan dan kadang main serobot. Kadang memang tidak terlihat di depan umum seperti bila kita mengurus surat apa di suatu instansi. Kelihatan antriannya lancar, tapi tahu-tahu ada yang nyelonong dari dalam meletakkan berkas dan langsung digarap oleh petugasnya. Sementara yang telah rela antri dibiarkan berdiri menunggu giliran. Budaya kita yang penuh sopan santunkah ini..?

Mencoba mengingatkan orang lain untuk tertib di tempat umum malah suka menimbulkan keributan. Seperti ketika mengingatkan orang yang merokok di bus umum, padahal di sebelahnya ada ibu-ibu mengendong bayi. Tak jarang aku temukan orang yang diingatkan malah ngomel. Mungkin memang tak ada gunanya mengingatkan orang di masyarakat yang main anarkis ini.

Kayaknya lebih baik kita mulai dari diri kita sendiri dan syukur keluarga. Karena jangankan mendidik orang lain yang tak kita kenal, mendidik anak pun suka susah sekali. Pengaruh lingkungan seringkali lebih dominan dibanding orang tua. Tak jarang anak di rumah begitu penurut tapi ketika keluar rumah, dia berubah menjadi liar.

Cara mendidik pun kadang kita serba salah ketika dihadapkan dengan tata krama. Menghaluskan istilah kepada anak kadang jadi salah paham. Sedangkan untuk mengajarkannya blak-blakan seperti orang barat atau ngapak dianggap saru. Untuk penggemar Sarmidi curanmor mungkin tak asing dengan cerita tentang penggunaan istilah mengetik, sebagai penghalusan kata hubungan suami istri ketika anak ada di dekatnya.

Cerita lain mungkin seperti pengalaman temanku yang anaknya kalo pengen throw big water suka teriak, mau beol bu...! Karena takut dianggap melanggar tata krama, terutama kalo pas ada tamu apalagi sedang makan, ibunya menyuruh anak untuk bilang "mau nyanyi" setiap kali kebelet.

Si anak pun nurut dan tak lagi memalukan orang tua di depan umum. Tapi ketika ortunya harus keluar kota, anak dititipkan di rumah neneknya. Tengah malam si anak bilang, "nek, aku pengen nyanyi..."

"Wah sudah tengah malam, cu. Nanti mengganggu tetangga," jawab si nenek.
"Ga mau pokoknya aku mau nyanyi. Dah kebelet banget nek..."

Melihat cucunya sampai merah muka nahan kebelet, si nenek berpikir si cucu mau nangis karena ingin nyanyi beneran. Trus dia bilang, "Ya udah nyanyinya disini saja deket telinga nenek. Jangan keras-keras tapi ya..."

Dan cucunya menurut...

Bertatakrama kok susah yah..?

1 komentar:

  1. Harrah's Casino New Orleans - JTM Hub
    양주 출장마사지 hotels › harrahs-casino › hotels 김해 출장마사지남양주 출장안마 harrahs-casino Harrah's 순천 출장샵 New Orleans is strategically located in downtown New Orleans, and has 2,750 rooms and suites, 86,764 square feet of gaming space. 경기도 출장마사지

    BalasHapus